02 October 2014 (www. Kompasiana.com )
Belum
juga Presiden Jokowi dilantik, publik terus bertanya-tanya. Publik yang
dimaksud adalah mereka yang bergerak di dunia pemberdayaan. Salah satunya dalam
naungan program PNPM Mandiri Perdesaan. Perasaaan galau muncul menyusul
keputusan DPR terkait pengalihan BLM Rp.9,1 Trilyun untuk Dana Desa. Pertanyaan
simpelnya, kalau sudah tidak ada BLM trus apa masih ada Fasilitator?
Praktek
selama ini, Fasilitator dikontrak untuk mengawal BLM (Bantuan Langsung
Masyarakat). Di lokasi kecamatan/desa yang masih terkucur BLM pasti ada
Fasilitator. Sebaliknya, yang tidak ada kucuran BLM (contoh kecamatan
phase-out) pasti tidak ada Fasilitatornya. Sebagai contoh di Jawa Barat adalah
Kec.Ciampea-Bogor, Kec.Bojongsoang dan Pameungpeuk Kab.Bandung.
Intinya,
ada peran Fasilitator melekat dengan kucuran BLM. Bisa dimaklumi jika saat ini
tidak kurang dari 11 ribu Fasilitator yang tersebar di 33 provinsi lokasi PNPM
Mandiri (Perdesaan) dalam posisi bertanya. Lanjut atau tidak ? Apalagi sekarang
ini mereka sedang berjibaku dengan tahapan perencanaan pembangunan di tingkat
desa. Tentunya tak bisa ditunda sementara kepastian BLM sebagai dasar
perencanaan tidak ada informasi.
Alhasil,
kebingunan masih terjadi. Hingga saat ini public/Fasilitator belum tahu
bagaimana isi RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintahan
Jokowi-JK. Didalamnya pasti termuat kebijakan pembangunan dan pemberdayaan
desa. Di masa pemerintahan SBY, PNPM Mandiri (Perdesaan) termasuk program
unggulan yang diarahkan untuk mengurangi, menanggulangi dan memberdayakan orang
miskin.
Dengan
bergantinya pemerintahan, sudah tentu kebijakan pemerintahan SBY sebagaimana
tertuang dalam RPJMN berakhir. Hanya saja, apakah ada yang total dihentikan
atau masih diteruskan (diadopsi) oleh pemerintahan Jokowi, publik belum tahu.
Sebagian pengamat menilai dengan diberlakukannya UU Desa per januari 2015 esok,
PNPM Mandiri Perdesaan tak lagi relevan dilakukan.
Pendapat
ini cukup berdasar. Untuk menghindari overlapping, maka UU Desa harus efektif
dilakukan. Sebagaimana sketsa awal, maka dana program dari seluruh kementrian/lembaga
yang mengucur desa sudah sepatutnya dialihkan ke Dana Desa. Hal ini juga untuk
memenuhi proporsionalitas 10% dana perimbangan (diluar dana transfer daerah).
Perhitungannya
sekitar Rp.64 trilyun/tahun. Jika yang terjadi hanya pengalihan dana BLM PNPM
Mandiri Perdesaan sebesar Rp.9,1 trilyun, maka bukan hanya angkanya yang minim
(hanya 10%), tetapi kurang adil karena hanya BLM PNPM Mandiri Perdesaan yang
dialihkan. Kesannya, bahkan seperti dikorbankan. Bagaimana dengan program dari
kementrian/lembaga lain, kenapa tidak diberlakukan kebijakan (dialihkan) yang
sama.
Inilah
yang menjadi catatan carut marut kebijakan. Tampak sekali koordinasi lintas
sector antar kementrian/lembaga sulit diwujudkan. Bahkan ego sektoral kian
menguat. Sayangnya justru PNPM Mandiri Perdesaan yang dikorbankan dengan alasan
sebagai dana yang mutlak mengucur ke desa. Padahal PPIP yang dikendalikan
kementrian PU, P2KP/PNPM Perkotaan juga ada yang menyasar ke desa.
Kesimpulannya,
ribuan fasilitator di PNPM Mandiri Perdesaan sekarang terancam off alias
menganggur. Emang ada yang salah? Kan memang mereka dikontrak selama program
berjalan. Kalau sudah off ya otomatis selesai. Toh, di UU Desa ada kebutuhan
tenaga pendamping professional bisa saja masuk kesitu.
Justru
inilah yang jadi pertanyaan besar. Hingga sekarang kebijakan integrasi PNPM
Mandiri Perdesaan ke UU Desa belum sepenuhnya berhasil. Meskipun ada kalimat
tenaga pendamping professional, tetapi skema, tata kelola, hubungannya seperti
apa belum terlihat. Karenanya, muncul spekulasi bahwa tidak otomatis
fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan jadi tenaga pendamping.
Jika
memang demikian, maka kehidupan Fasilitator ibarat sudah jatuh terimpa tangga.
Pertama, mengapa hanya BLM PNPM Mandiri Perdesaan yang dialihkan dan kedua
mengapa tidak dibuat kebijakan untuk mewadahi/menyalurkan fasilitator yang
sebelumnya ada ke pendamping desa.
Bukankah
mereka juga anak bangsa yang sudah terlatih. Tak hanya dibidang administrasi
proyek, juga ketrampilan komunikasi, mobilisasi, pengendalian masalah. Tak
sedikit pula yang punya komitmen tinggi sehingga menjadi Fasilitator lebih dari
10 tahun. Mereka juga memiliki kinerja yang terukur sesuai key performance yang
telah ditetapkan.
Jika
akhirnya dinonaktifkan, sesungguhnya pemerintah akan menelan biaya tinggi lagi
untuk melatih tenaga pendamping baru. Khusunya untuk akuntabilitas laporan.
Sebagaimana sering terungkap dalam workshop UU Desa, jangan sampai UU Desa
menjadi momentum banyaknya jaksa masuk desa. Dalam statemen lain, jangan sampai
Kepala Desa justru menjadi penghuni hotel prodeo (penjara).
Yang
terbaik adalah jangan memutus mata rantai sejarah. Itulah kesimpulan saya. Yang
baik disempurnakan, dan yang buruk ditinggalkan. Semoga pemerintahan Jokowi-JK
tidak bersikap antipasti terhadap keberhasilan yang dilakukan oleh Pemerintah
SBY yang salah satunya melalui PNPM Mandiri Perdesaan. Perlu diingat, sukses
program tersebut juga tak lepas dari kerja keras Fasilitator.( Kompasiana )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar